Sejak tahun 1988, rekam medis secara resmi merupakan terjemahan dari medical health record. Hal tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pendidikan Nasional.
Mengenai pengertian rekam medis ini sendiri, ada banyak defenisi diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Bambang Poernomo (2000), rekam medis adalah catatan yang mencerminkan segala informasi yang menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar dalam menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan medis maupun tindakan medis lainnya yang diberikan kepada seorang pasien. Atau menurut teknis medis, rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas, anamnesis, penentuan fisik laboratorium, diagnosis segala pelayanan dan tindakan medik uang diberikan kepada pasien serta pengobatan yang rawat inap, rawat jalan, dan pelayanan gawat darurat[2].
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan seperangkat aturan yang
berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia untuk menciptakan keadaan yang
tertib dan harmonis dalam kehidupan. Salah satu hal yang diatur oleh hukum
adalah tentang kesehatan. Kesehatan merupakan suatu hal yang penting dalam
kehidupan. Kesehatan ini sangat dibutuhkan untuk melakukan segala kegiatan
dalam kehidupan. Ketika seseorang dalam kondisi yang tidak sehat, tentu akan
menghambat aktivitas yang akan dilakukannya. Hukum yang mengatur tentang
kesehatan ini dikenal dengan istilah hukum kesehatan.
Di Indonesia, kesehatan telah diatur dalam
berbagai peraturan, seperti Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) hingga
Undang-undang. Hal-hal yang diatur dalam peraturan tersebut mulai dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan hingga
terjadinya kesalahan dalam kegiatan medis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Kansil yang menyatakan bahwa:
Hukum
kesehatan adalah rangkaian peraturan perundangundangan dalam bidang kesehatan
yang mengatur pelayanan medik dan sarana medik[1].
Berbicara
tentang kesalahan medis, telah banyak kasus yang terjadi. Di Indonesia sendiri,
kesalahan medis ini merupakan salah satu hal yang sangat sering terjadi
terutama di rumah sakit. Penulis sering membaca, mendengar, hingga melihat hal
tersebut melalui berbagai media seperti koran, majalah, radio, televisi, dan
internet. Salah satu kasus yang pernah populer penulis dengar adalah mengenai
kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (http://health.liputan6.com/read/749395/inilah-kronologi-kasus-penangkapan-dokter-ayu). Hal tersebut merupakan
salah satu kasus yang merupakan contoh terjadinya kesalahan medis, dan telah
dibuktikan melalui catatan rekam medis yang dimiliki korban (pasien).
Kesalahan medis merupakan kesalahan yang
terjadi ketika rencana pengobatan atau prosedur disampaikan salah. Atau dengan
kata lain bahwa kesalahan medis ini merupakan kesalahan yang terjadi dalam
pelayanan kesehatan yang merupakan kesalahan manusia atau human error.
Kesalahan medis dapat terjadi di berbagai unit layanan medis, seperti rumah
sakit, puskesmas, klinik, apotek, praktik dokter, hingga rumah sakit bersalin
yang menyangkut urusan obat, tindakan bedah, diagnosis, alat periksa, dan
laboratorium.
Dalam pelayanan kesehatan, dikenal adanya
rekam medis. Ketika seseorang melakukan pemeriksaan kepada petugas kesehatan
atau petugas medis, maka hal tersebut akan dicatat dalam bentuk rekam medis.
Rekam medis ini kurang lebih berisi tentang data-data pasien hingga riwayat
penyakit pasien. Rekam medis ini ada yang berbentuk tertulis dan adapula yang
berbentuk rekaman elektronik.
Maka ketika terjadi kesalahan medis, rekam
medis ini dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan atau mengungkap
kesalahan medis yang terjadi. Hal ini terjadi karena rekam medis ini berfungsi
untuk memberikan kepastian hukum atas dasar keadilan yang menjadi acuan bagi
pemberi layanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sehingga
kesalahan medis yang terjadi dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji sebagai bentuk makalah dengan
judul “Peranan Rekam Medis Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah peranan rekam
medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis?
2. Bagaimanakah kekuatan
pembuktian rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui peranan
rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis.
2. Untuk mengetahui kekuatan
pembuktian rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengetahui Peranan Rekam
Medis Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis
1. Pengertian Rekam Medis
Sejak tahun 1988, rekam medis secara resmi
merupakan terjemahan dari medical health record. Hal tersebut mulai berlaku
sejak ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Indonesia Pendidikan Nasional.
Mengenai pengertian rekam medis ini sendiri,
ada banyak defenisi diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut
Bambang Poernomo (2000), rekam medis adalah catatan yang mencerminkan segala
informasi yang menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar
dalam menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan medis maupun
tindakan medis lainnya yang diberikan kepada seorang pasien. Atau menurut
teknis medis, rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang
terekam tentang identitas, anamnesis, penentuan fisik laboratorium, diagnosis
segala pelayanan dan tindakan medik uang diberikan kepada pasien serta
pengobatan yang rawat inap, rawat jalan, dan pelayanan gawat darurat[2].
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik
Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan
dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
Dan pengertian rekam medis berdasarkan
Permenkes Nomor 269/Menkes/ Per/III/2008, rekam medis adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Sedangkan menurut Huffman EK, rekam medis
adalah rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana pelayanan
yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan
mengenai pasien dan pelayanan yang diperolehnya serta memuat informasi yang
cukup untuk menemukenali (mengidentifikasi) pasien, membenarkan diagnosis dan
pengobatan serta merekam hasilnya.
Meski banyak defenisi tentang rekam medis
ini, namun defenisi-defenisi yang ada memiliki kesamaan yang mengacu pada bagaimana
isi dan kegunaan dari rekam medis tersebut. Hal ini tergambar jelas dari
beberapa defenisi yang penulis paparkan di atas.
2. Isi Rekam Medis
Isi rekam medis diatur dalam Pasal 3
Permenkes RI Nomor 269/ Menkes/ Per/ III/ 2008 Tentang Rekam Medis, dan
dikatakan masing-masing pada:
Ayat
(1):
Isi
rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan
sekurang-kurangnya memuat:
a) Identitas pasien;
b) Tanggal dan waktu;
c) Hasil anamnesis, mencakup
sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d) Hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang medik;
e) Diagnosis;
f) Rencana penatalaksanaan;
g) Pengobatan dan/atau
tindakan;
h) Pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien;
i) Untuk pasien kasus gigi
dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j) Persetujuan tindakan
bila diperlukan.
Ayat
(2):
Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan
perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a) Identitas pasien;
b) Tanggal dan waktu;
c) Hasil anamnesis, mencakup
sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d) Hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang medik;
e) Diagnosis;
f) Rencana
penatalaksanaan;
g) Pengobatan dan/atau
tindakan;
h) Persetujuan tindakan
bila diperlukan;
i) Catatan observasi klinis
dan hasil pengobatan;
j) Ringkasan pulang
(discharge summary);
k) Nama dan tanda tangan
dokter atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
l) Pelayanan lain yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan
m) Untuk pasien kasus gigi
dilengkapi dengan odontogram klinik.
Ayat
(3):
Isi
rekam medis untuk pasien gawat darurat, sekurangkurangnya memuat:
a) Identitas pasien;
b) Kondisi saat pasien tiba di
sarana pelayanan kesehatan;
c) Identitas pengantar
pasien;
d) Tanggal dan waktu;
e) Hasil anamnesis,
mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
f) Hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang medik;
g) Diagnosis;
h) Pengobatan dan/atau
tindakan;
i) Ringkasan kondisi
pasien sebelum meninggalkan pelayan unit gawat darurat dan rencana tindak
lanjut;
j) Nama dan tanda tangan
dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan
kesehatan;
k) Sarana transportasi
yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan
lain; dan
l) Pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien.
3. Tujuan Dibuatnya Rekam
Medis
Tujuan dibuatnya Rekam Medis adalah untuk
menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa dukungan suatu
sistem pengelolaan rekam medis baik dan benar tertib administrasi di
rumah sakit tidak akan berhasil sebagaimana yang diharapkan.
Sedangkan tertib administrasi merupakan salah
satu faktor yang menentukan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pembuatan
rekam medis di rumah sakit bertujuan untuk mendapatkan catatan atau dokumen
yang akurat dari pasien, mengenai kehidupan dan riwayat kesehatan, riwayat
penyakit dimasa lalu dan sekarang, juga pengobatan yang telah diberikan sebagai
upaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Rekam medis
dibuat
untuk tertib administrasi di rumah sakit yang merupakan salah satu faktor
penentu dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan[3].
4. Pertanggungjawaban Terhadap
Rekam Medis
Rekam medis bersifat rahasia. Oleh karena
itu, untuk melindungi kerahasiaannya maka dibuat ketentuan bahwa hanya petugas
rekam medis yang diperbolehkan untuk memasuki ruangan
penyimpanan rekam medis. Disamping itu, hanya badan-badan atau orang-orang
yang ditentukan dalam Undang-Undang yang dapat mengutip sebagian atau seluruh
isi rekam medis. Serta perawat pasien bertanggung jawab untuk menjaga
kerahasiaan isi rekam medis pasien selama pasien dirawat[4].
Rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk
melindungi informasi yang ada di dalam rekam medis terhadap kemungkinan
hilangnya keterangan ataupun memasukkan data yang ada di dalam rekam medis atau
dipergunakan oleh orang yang semestinya tidak diberi izin. Adapun tanggung
jawab itu dibebankan kepada[5]:
a. Tanggung jawab dokter yang
merawat Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak pada dokter
yang merawat. Dia mengemban tanggung jawab terakhir akan kelengkapan dan
kebenaran isi rekam medis.
b. Tanggung jawab petugas
rekam medis Petugas rekam medis, membantu dokter yang merawat dalam mempelajari
kembali rekam medis. Analisa dari kelengkapan isi rekam medis dimaksudkan untuk
mencari hal-hal yang kurang dan masih diragukan.Dalam rangka membantu dokter
dalam penganalisaan kembali dari rekam medis, personil rekam medis harus
melakukan analisa kualitatif dan analisa kuantitatif.
c. Tanggung jawab pimpinan
rumah sakit Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab menyediakan fasilitas unit
rekam medis yang meliputi ruang, peralatan, dan tenaga yang memadai. Dengan
demikian tenaga di bagian rekam medis dapat bekerja secara efektif memeriksa
kembali dan memuat indeks, penyimpanan dari semua sistem medis dalam waktu
singkat.
d. Tanggung jawab mahasiswa
praktik Dalam kegiatan praktik kerja lapangan (PKL) diwajibkan semua mahasiswa
baik itu dari fakultas kedokteran, keperwatan, kebidanan, rekam medis dan
informasi kesehatan, serta mahasiswa kesehatan lainnya, diwajibkan untuk selalu
bertanggung jawab dan menjaga kerahasiaan akan isi dokumen rekam medis milik
pasien di rumah sakit tersebut. Untuk menjaga kerahasiaan tersebut, maka setiap
mahasiswa perekam medis wajib berjanji untuk menjunjung tinggi kode etik
profesi dalam menjaga rahasia informasi medis.
5. Rekam Medis Dalam
Peranannya Sebagai Alat Bukti Terhadap Tindakan Pemberian Layanan Kesehatan
Pada dasarnya rekam medis bukanlah merupakan
sebuah layanan kesehatan tetapi merupakan suatu bukti pelayanan yang diberikan
oleh pemberi layanan kesehatan kepada pasien. Sebelum membahas lebih jauh
tentang rekam medis, maka perlu dipahami terlebih dahulu siapa saja yang
terkait dengan rekam medis tersebut.
Pada dasarnya yang orang-orang yang terkait
dengan rekam medis terdiri atas pasien, dokter dan dokter gigi, serta tenaga
kesehatan. Dalam Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 terdapat defenisi
dari ketiga hal tersebut. Dalam Pasal 1 ayat (5) pasien didefinisikan sebagai
setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi. Dalam Pasal 1 ayat (2) dokter dan dokter gigi
didefenisikan sebagai dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Serta Pasal 1 ayat (4) tenaga kesehatan
tertentu dapat didefenisikan sebagai tenaga kesehatan yang ikut memberikan
pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien selain dokter dan dokter
gigi.
Pada awal perkembangan dunia kedokteran di
Indonesia, rekam medis memang tidak begitu diperhatikan. Pencatatan data medis
hanya menggunakan kartu pasien yang disebut dengan istilah “status”. Hal ini
disebabkan karena dahulu hal ini tidak begitu penting karena belum menciptakan
persoalan. Namun seiring berkembangnya zaman, masyarakat mulai menyadari
pentingnya rekam medis. Bahkan yang dahulunya hampir tidak ada atau bahkan
tidak ada gugatan terhadap pemberi layanan kesehatan, sekarang menjadi sudah
banyak gugatan atas pasien terhadap pemberi layanan kesehatan. Termasuk gugatan
dengan menggunakan rekam medis sebagai alat bukti.
Sebenarnya pemberian layanan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter dan/atau dokter gigi terhadap pasien memiliki standar.
Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa standar tersebut dikenal
dengan istilah standar profesi. Jadi tindakan yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien sebenarnya harus sesuai dengan standar profesi tersebut. Jadi
tindakan dokter terhadap pasien tersebut selain dipertanggungjawabkan kepada
pasien, juga dipertanggungjawabkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran
Indonesia.
Untuk rekam medis secara tertulis sudah
dijelaskan dibagin pengertian rekam medis, dan untuk Rekam medis elektronik/
rekam kesehatan elektronik adalah suatu kegiatan mengkomputerisasikan tentang
isi rekam kesehatan (rekam medis) mulai dari (mengumpulkan, mengolah,
menganalisis dan mempresentasikan data) yang berhubungan dengan kegiatan
pelayanan kesehatan. Rekam medis elektronik ini tentu saja sangat berperan
penting dalam memudahkan pengobatan pasien yang berada di tempat yang berbeda
dengan rekam medis miliknya. Sebagai contoh ketika seorang pasien sedang berada
di kota A, akan tetapi rekam medis miliknya berada di kota B, sementara ia
membutuhkan rekam medis tersebut untuk melakukan pengobatan di kota A, maka
pasien tersebut dapat meminta pemegang rekam medis miliknya (pemberi layanan
kesehatan, seperti dokter) untuk mengirimkannya melalui media elektronik.
Berkaitan dengan hal tersebut, memang pasien memiliki hak untuk mengakses atau
melihat informasi kesehatan pribadinya.
Jadi jelas bahwa rekam medis merupakan hal
yang sangat penting dalam pelayanan medis. Rekam medis dapat menjadi panduan
dalam pemberian pelayanan kesehatan. Disamping itu, rekam medis juga dapat
menjadi dokumen medis jika terjadi konflik hukum baik di pengadilan profesi
maupun di pengadilan negeri. Hal ini sesuai dengan apa yang telah penulis
utarakan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) butir (b) Permenkes RI
Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 yang menyatakan bahwa pemanfaatan rekam medis
dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin
kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika
kedokteran gigi. Dengan demikian, bagi pemberi
layanan
kesehatan rekam medis dapat menjadi alat pembelaan dan keterangan alibi yang
tertulis terhadap adanya tugas profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada
kelalaian tugas serta sesuai dengan standar profesi yang telah
mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Disamping itu bagi pasien
sendiri, berkas rekam medis dapat digunakan pasien atau keluarganya atas hukum
sebagai dasar untuk melakukan gugatan hukum atau penuntutan perkara di
pengadilan dengan tata cara hukum yang berlaku.
B. Kekuatan Pembuktian Rekam
Medis Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis
1. Pembuktian Terhadap
Kesalahan Medis
Pembuktian merupakan hal yang sangat penting
dalam hukum acara pidana. Sebab dari hasil pembuktian inilah dapat diketahui
benar atau tidaknya seseorang telah melakukan tindak pidana. Untuk membuktikan
tentang terjadinya kesalahan medis bukanlah perkara yang mudah karena ada
banyak kendala yang mungkin timbul. Seperti yang berhak menentukan terjadinya
kesalahan medis adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kehormatan Indonesia. Hal
ini sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Kesehatan No.
2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek kedokteran
yang menyatakan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter
dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi
dan menetapkan sanksi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya penentuan dari
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, untuk menetapkan bahwa
seseorang (dokter) melakukan kesalahan medis. Apalagi hal ini diperlukan
mengingat aparat penegak hukum terutama hakim tidak memiliki spesialisasi dalam
bidang medis. Sehingga untuk menjaga asas praduga tak bersalah maka hal
tersebut memang dibutuhkan.
Dalam dunia medis, rekam medis merupakan
salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam sidang di pengadilan. Hal ini
sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) butir (b) Permenkes Nomor 269/Menkes/
Per/III/2008 yang menyatakan bahwa pemanfaatan rekam medis dapat dipakai
sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.
2. Teori-Teori Pembuktian
Dalam
sejarah perkembangan hukum acara pidana, telah muncul beberapa sistem atau
teori pembuktian. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan
tempat (negara). Sistem atau teori pembuktian tersebut yaitu[6]:
1) Conviction Intime
Ajaran
sistem pembuktian ini semata-mata disandarkan pada keyakinan hakim belaka dan
tidak terikat pada aturanaturan. Contoh sistem ini digunakan dalam
sistem peradilan juri, seperti Amerika Serikat.
2) Conviction Raisonee
Ajaran
sistem pembuktian ini semata-mata disandarkan atas keyakinan dengan
pertimbangan akal sehat (pikiran) dan hakim tidak terikat pada alat bukti yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Hakim dapat menggunakan alat bukti diluar
Undang-Undang.
3) Positive Wettelijk Sistem
Ajaran
sistem pembuktian ini semata-mata disandarkan pada alat bukti yang ditetapkan
oleh Undang-Undang dalam menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak, tanpa
adanya keyakinan hakim.
4) Negative Wettelijk Sistem
Ajaran
sistem pembuktian ini didasarkan pada alat bukti yang ditetapkan oleh
Undang-Undang disertai dengan adanya keyakinan hakim. Sistem pembuktian ini
dianut oleh Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
3. Kekuatan Rekam Medis
Sebagai Alat Bukti Terhadap Kesalahan Pemberian Layanan Kesehatan
Dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana,
pemeriksaan perkara pidana atau yang dikenal dengan istilah
pembuktian yang dilakukan dalam proses persidangan, selalu bertujuan
mencari suatu kebenaran yang materil atau kebenaran yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 183 KUHAP mengisyaratkan bahwa untuk menyatakan
bahwa seseorang dikatakan bersalah yaitu ketika telah memenuhi minimal 2 (dua)
alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang saling
bersesuaian ditambah dengan keyakinan hakim. Hal ini mengisyaratkan bahwa
pembuktian di persidangan tidak cukup hanya dengan bukti-bukti surat seperti
dalam pemeriksaan perkara perdata, dimana yang hanya diperlukan berupa
pembuktian formal.
Dalam hal perkara pidana, terutama untuk
membuktikan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pemberi layanan
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang
mengakibatkan pasien menderita luka ringan atau luka berat, atau bahkan
meninggal dunia, maka untuk kepentingan hukum dan perlindungan profesi dokter,
sebagai pembelaan dirinya dokter yang bersangkutan dapat mengajukan medical
record untuk dijadikan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan persidangan.
Dengan menggunakan rekam medis tersebut,
hakim dapat mengetahui upayaupaya apa saja yang telah dilakukan oleh dokter
atau pemberi layanan kesehatan atau terapi apa yang telah dilakukan oleh
pemberi layanan kesehatan terhadap pasiennya, apakah tindakan yang dilakukannya
itu telah sesuai dengan standar profesi atau tidak, sehingga dengan demikian
hakim dapat menentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan
tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak. Namun perlu ditekankan bahwa
bukanlah bidang kesehatan yang menjadi kompetensi seorang hakim.
Oleh karena itu, dibutuhkan keterangan dari
seorang ahli yang dari bidang kesehatan untuk menunjang rekam medis
sebagai alat bukti tadi. Lagipula sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan
bahwa minimal 2 (dua) alat bukti yang saling bersesuaian. Jadi jika hanya
berupa rekam medis saja, itu tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Dari keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut, hakim dapat memperoleh
gambaran apakah tindakan yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan tersebut
sudah sesuai dengan standar profesi atau tidak. Hal ini penting mengingat
jangan sampai terjadi pertentangan penafsiran antara hakim dengan dokter
(KODEKI) mengenai terjadinya kesalahan atau kelalaian terkhusus kepada masalah
malpraktik medis.
Berkaitan dengan kesaksian ahli tersebut,
sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa yang berhak
menentukan adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Kesehatan No.
2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek kedokteran.
Berdasarkan peraturan tersebut, maka keterangan dari lembaga tersebut sangat
dibutuhkan untuk menyatakan bersalahnya seorang dokter atau dokter gigi.
Memandang pasal tersebut, tampak bahwa seolah-olah keterangan dari lembaga Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah mutlak adanya dalam pembuktian
ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi. Keterangan dari lembaga tersebut tidak mutlak adanya dalam
pembuktian di pengadilan. Keterangan dari seorang ahli tidak mesti berasal dari
lembaga tersebut. Akan tetapi memang akan lebih baik bila berasal dari lembaga
tersebut. Disamping itu, seorang hakim akan selalu berpedoman pada 2 (dua) alat
bukti yang saling bersesuaian seperti yang diisyaratkan pada Pasal 183 KUHAP.
Jadi walaupun keterangan ahli tersebut ada dalam persidangan, akan tetapi tidak
sesuai dengan alat bukti yang apapun yang lain, maka keterangan tersebut bisa
di kesampingkan. Jadi pada dasarnya untuk menentukan ada atau tidaknya
kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi sama saja dalam pembuktian
perkara lainnya yang memerlukan minimal 2 (dua) alat bukti yang saling
bersesuaian ditambah dengan keyakinan hakim. Namun perlu juga diperhatikan
bahwa keterangan yang diberikan di persidangan merupakan alat bukti yang
kedudukannya paling tinggi.
Oleh karena itu, keterangan ahli yang
diberikan di persidangan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bukti berupa keterangan tertulis seperti rekam medis. Akan tetapi
walaupun kedudukan rekam medis ini dibawah keterangan dari saksi atau ahli yang
diberikan di persidangan, namun rekam medis ini menjadi salah satu acuan bagi
ahli untuk memberikan keterangan. Karena dari rekam medis inilah ahli tersebut
dapat mengetahui tindakan apa saja yang telah diberikan kepada pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan Permenkes Nomor
269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis merupakan hal
yang sangat penting dalam pelayanan medis. Rekam medis dapat menjadi panduan
dalam pemberian pelayanan kesehatan.
2. Rekam medis memiliki nilai
hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas
dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda
bukti untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, rekam medis juga dapat
menjadi dokumen medis jika terjadi konflik hukum baik di pengadilan profesi
maupun di pengadilan negeri. Dalam hal pembuktian tentang terjadinya kesalahan
medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, rekam medis memiliki peran baik
bagi tenaga kesehatan maupun pasien. Bagi pemberi layanan kesehatan rekam medis
dapat menjadi alat pembelaan dan keterangan alibi yang tertulis terhadap adanya
tugas profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada kelalaian tugas serta
sesuai dengan standar profesi yang telah mendapat persetujuan pasien atau
keluarganya. Sedangkan bagi pasien sendiri, berkas rekam medis dapat digunakan
pasien atau keluarganya atas hukum sebagai dasar untuk melakukan gugatan hukum
atau penuntutan perkara di pengadilan dengan tata cara hukum yang berlaku.
B. Saran
1. Sebaiknya ada persamaan
persepsi tentang tolak ukur kesalahan medis antara dokter (KODEKI) dengan
aparat penegak hukum khususnya hakim. Jangansampai terjadi pertentangan dimana
hakim menganggap telah terjadi kesalahan medis sedangkan bagi dokter, hal
tersebut telah dilakukan sesuai dengan prosedur, karena mereka berpedoman pada
kode etik profesi. Oleh karena itu, dalam hal pembuktian di persidangan,
sebaiknya hakim selalu memperhatikan keterangan dari ahli dan sebaiknya ahli
tersebut berasal dari Lembaga Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Terkait dengan rekam medis,
permasalahan yang sering timbul yaitu bahwa seringkali tenaga kesehatan
mengabaikan pencatatan rekam medis tersebut, padahal pencatatan rekam medis
tersebut wajib adanya. Adapula yang hanya sekedar melakukan pencatatan atau
tidak lengkap atau dengan kata lain hanya secara asal-asalan. Padahal
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 telah
menyatakan bahwa rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas
atau secara elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan
Pertanggungjawaban Dokter, Rineke Cipta, Jakarta, 2005.
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis
& Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Hendrik,
Etika Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2014.
[3] Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis
& Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 7
[4] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan
Pertanggungjawaban Dokter, Rineke Cipta, Jakarta, 2005, Hlm. 29
[6] Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 278
Tags
Kumpulan Makalah