Makalah Bahasa Indonesia "Pendidikan Karakter dan
Sastra"
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan.
Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan,
korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu
dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat
kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu
dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu,
menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab dan mencari pemecahannya. Penelitian
dan seminar mengenai masalah tersebut telah berkali-kali diselenggarakan oleh
berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan
persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda.
Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan
budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan
pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan
revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah
merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan
Karakter.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa dan sastra
Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang perlunya pendidikan apresiasi
sastra terhadap pembentukan karakter siswaMelalui sastra diharapkan dapat
terwariskan nilai-nilai luhur kearifan lokal guna membendung pengaruh negatif
era globalisasi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk diketahui tentang
sejauhmana “Pengaruh Apresiasi Sastra terhadap Karakter Siswa”
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pendidikan karakter dan satra itu?
2.
Bagaimana
relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa?
3.
Bagaimana
pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa?
4.
Bagaimana
memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah
5.
Bagaimana
upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter melalui
sastra?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian pendidikan karakter dan sastra.
2.
Untuk
mengetahui relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa.
3.
Untuk
mengetahui pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa.
4.
Untuk
mengetahui pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
5.
Untuk
mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan
karakter melalui sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pendidikan Karakter dan Sastra
Pendidikan
Karakter
Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan,
akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu
perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan.
Pengertian karakter menurut para ahli, aadalah sebagai berikut
- Menurut Suyanto
(2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
- Menurut Pritchard
(1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Pusat
Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi
pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius,
(2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7)
mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11)
cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif,
(14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli
sosial, tanggung jawab. Jadi, pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut.
- Sastra
Dalam
Wikipedia Indonesia, astra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra,
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar
śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini
biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan
yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan,
sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan. Maksud dari sastra
lisan di sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu.
2.2
Relevansi Sastra terhadap Pendidikan Karakter di Kalangan Siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan
menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di
masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak
sekarang. Oleh karena itu, membangun karakter siswa menjadi pekerjaan bersama
(khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting.
Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra,
menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang
positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan akin
terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan
gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yanglebihadidaya.
Belajar
sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi
siswa sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan
mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna
sesuai dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya
sastra itu sendiri.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya
sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam
pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai
pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang
”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan
protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan
bidal penuh dengan nilai pendidikan.
Pengaruh
Apresiasi Sastra Terhadap Karakter Siswa
inat
terhadap sastra kini mengalami degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan
jaman yang serba instan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh
komik-komik dari luar negeri seperti Spongebob, Dora the Explorer, Naruto, dansebagainya.
Bahkan tradisi mendongeng untuk peninabobokan anak sebagai pengantar tidur
sang anak sudah tidak menarik lagi bagi seorang anak dan menjadi sesuatu yang
sangat asing.
Membaca karya sstra bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan karena keindahannya,
melainkan juga untuk memperkaya wawasan dan daya nalar. Sastra adalah vitamin
batin, karena mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada pembacanya dan
memberikan pencerahan. Mengingat peranan sastra dalam pengembangan kepribadian
pembacanya, maka pengajaran sastra di sekolah sangatlah penting.
Melalui pengajaran sastra, siswa tidak hanya diperkenalkan kekayaan sastra
Indonesia dan dunia, tokoh-tokoh dalam kesusastraan, bahkan juga diperkenalkan
pada kekayaan isi karya sastra itu sendiri. Dengan membaca dan memahami karya
sastra, berarti siswa mencoba memahami kehidupan, mencoba memperoleh
nilai-nilai positif dan luhur dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya
batinnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sidney (dalam Alwasilah, 2001:31)
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada
karya sastra.
Banyak
hal yang dapat diperoleh dari sastra. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan
manfaat yang dapat diambil dari sastra lama yaitu sebagai berikut:
Dapat
perperan sebagai hiburan dan media pendidikan,
Isinya
dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur,
Isinya
dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban
bangsa,
Pergelarannya
dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan,
Proses
penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis,
Sumber
inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain,
Proses
penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan
rendah hati,
Pergelarannya
memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis,
Pengaruh
asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan
pandangan hidup yang luas.
Pemberdayaan
Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Dalam
Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan
bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Seperti
penjelasan di atas, sesungguhnya pembelajaran sastra memiliki tujuan yang mulia
dan besar. Hanya saja tujuan tersebut akan menjadi slogan apabila dalam
pembelajaran sastra di sekolah tidak dilakukan secara maksimal. Jadi, untuk
mewujudkan dan mengembalikan pembelajaran sastra pada tujuan tersebut, maka
pembelajaran apresiasi sastra yang saat ini lesu dan tak berdaya ini harus
kembali diberdayakan.
Dalam
rangka pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, ada beberapa
strategi yang bisa dilakukan yaitu sebagai berikut:
·
Memasukkan
pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah.
·
Membuat
slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat
sekolah untuk bertingkah laku yang baik.
·
Membiasakan
perlaku yang positif di kalangan warga sekolah.
·
Melakukan
pemantauan secara kontinyu.
Selain
strategi tersebut, guru sebagai pendidik juga harus mempunyai ketertarikan
terhadap sastra, berikut beberapa hal yang perlu dicermati oleh guru itu
sendiri:
Sikap
Guru
Selama
ini guru seolah terpasung kreativitas dan jiwa inovasinya dalam melaksanakan
tugasnya bila hasil upayanya hanya selalu dikaitkan dengan hasil Ujian
Nasional. Banyak pihak yang menghakimi guru hanya berdasarkan pencapaian nilai
Ujian Nasional yang mampu diraih oleh siswanya. Bila siswanya meraih nilai
Ujian Nasional yang tinggi, maka hal ini dijadikan indikator bahwa guru yang
bersangkutan telah cukup berhasil dalam melaksanakan pembelajaran. Anggapan
yang demikian berakibat banyak guru yang cenderung pada pelatihan mengerjakan
soal kepada siswa-siswanya. Kecenderungan semacam ini justru mencederai tujuan
dan hakikat pembelajaran apresiasi sastra.
Untuk
itu, pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra hendaknya sikap guru perlu
diubah. Dalam diri guru harus ditumbuhkan sikap untuk membuang jauh-jauh
orientasi ke nilai Ujian Nasional. Sebab, pembelajaran apresiasi sastra bukan
semata-mata ditujukan agar meraih nilai Ujian Nasional yang tinggi, melainkan
pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan, mengingat banyak kandungan nilai
yang terdapat dalam sastra yang dapat dijadikan bekal siswa dalam kehidupannya.
Peran
Guru
Dalam
pembelajaran apresiasi sastra selama ini, terkesan bahwa guru banyak berperan
sebagai informator tunggal. Sehingga terbuka kemungkinan guru dijadikan sumber
utama dan satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Hal ini melahirkan
kecenderungan guru untuk memerankan diri sebagai ’hakim’ yang sangat
menentukan ’ini benar’ dan ’ini salah’.
Pembelajaran
apresiasi sastra akan lebih berdaya bila guru mampu menempatkan diri sebagai:
Apresiator yang menjembatani antara karya sastra
sebagai bahan ajar dan siswa sebagai penikmat karya sastra.
Motivator yang mampu menumbuhkan rasa apresiasi
pada diri siswa.
Perunding yang mampu dengan penuh kearifan dan
kebijakan mengakomodasikan berbagai tanggapan dari siswa sebagai bentuk
apresiasi mereka terhadap karya sastra yang tengah dinikmati serta dihayati.
Kualifikasi
Guru
Secara
teknis, guru-guru bahasa umumnya tidak otomatis juga mampu menjadi guru sastra.
Akibatnya, pembelajaran apresiasi sastra akan cenderung bersifat
teknis-teoretis. Lebih ironis lagi bila guru sendiri tidak menyukai sastra
sehingga tak pernah menambah wawasan sastranya dengan membaca buku-buku sastra
berkualitas. Bagaimana siswa akan mencintai sastra apabila guru belum mampu
menjadi contoh bagi siswanya?
Berkenaan
dengan hal tersebut, pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra akan semakin
berarti apabila guru bahasa mau dan mampu meningkatkan dan mengembangkan
dirinya sebagai guru sastra. Guru harus benar-benar memahami hakikat dan tujuan
pembelajaran apresiasi sastra, termasuk di dalamnya mampu dan terampil
mengapresiasi karya sastra. Selain itu, guru juga memiliki rasa cinta kepada
sastra, memiliki pemikiran kritis dalam menganalisis karya sastra, serta
memiliki pandangan tertentu tentang sikap hidup dan nilai-nilai hidup sehingga
mampu memilih dan memilah karya sastra yang tepat untuk diberikan kepada siswa
serta cara menyajikannya.
d. Lingkungan
yang Mendukung
Pemberdayaan
pembelajaran apresiasi sastra tidak dapat dilepaskan bila lingkungan yang ada
turut mendukung. Hal ini harus diciptakan baik oleh guru, siswa, maupun
sekolah. Salah satu di antaranya adalah penyediaan bacaan-bacaan sastra. Dalam
hal ini perpustakaan memegang peran yang utama.
Hanya
saja bacaan sastra di perpustakaan sekolah seringkali sangat terbatas. Untuk
menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari media
cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca oleh
semua. Bila upaya-upaya tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin
pembelajaran sastra di sekolah menjadi bergairah sehingga mampu mencapai tujuan
yang telah dirumuskan.
Upaya
yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra
Sebagai
wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
1. Cerpen
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
2. Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik.
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
2. Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik.
3. Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
6. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
6. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Selain
cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh
pendidik atau bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam
pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari penyeleksian atau pemilihan
bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta
didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna
kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar
mengajarkan materi, tetapi juga mendidik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya
didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra
yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan
membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya
menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada
saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga siswacenderung
cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter
tekun, cermat, taat, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif
dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan
pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk
menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran
sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa
terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.
3.2
Saran
Melalui pengajaran sastra, diharapkan dapat berperan dalam membentuk
karakter yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa
itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal
menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki
sikap apresiatif terhadap karya sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2010.
Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. tersedia pada http://www.riaupos.co.id/spesial.php?act=full&id=56&kat=2. Di akses tanggal, 26 September 2011.
Adicita. 2010.
Pardigma Baru Pengajaran Sastra Indonesia. Tersedia pada http://www.adicita.com/artikel/detail/id/600/Paradigma-Baru-Pengaja
ran-Apresiasi-Sastra-Indonesia Di akses tanggal, 26 September 2011.
Jibis. 2010.
Mengakrabi Sastra Membangun Karakter Bangsa. Tersedia pada http://jibis.pnri.go.id/artikel-27-mengakrabi-sastra-membangun-karakter
-bangsa.html
Di akses tanggal, 26 September 2011.
Bektipatria. 2010.
Memberdayakan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah.
Tersedia
pada http://bektipatria.wordpress.com/2010/12/30/
memberdayakan-pembelajaran-apresiasi-sastra-di-sekolah
Di akses tanggal, 26 September 2011.
Deny Purwanto. 2011. http://fkip.um-surabaya.ac.id/2011/04/29/pendidikan-karakter-melalui-pembelajaran-sastra/
Di akses tanggal, 26 September 2011.
Suyanto. 2009.
Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen. depdiknas.
go.id/web/pages/urgensi.html. Di akses tanggal, 26 September 2011.
Pritchard, I. 1988. ”Character
\education: Research Prospect and Problem” American Journal of Education.
Di akses tanggal, 26 September 2011.
Haryadi. 1994. Sastra
Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Di akses tanggal,
26 September 2011.
Alwasilah, A.
Chaedar, 2001. Language, Culture, and Education: A Portrait of
Contemporary
Indonesia. Bandung: Andir
Tags
Kumpulan Makalah